postulat kehidupan

salah satu postulat kehidupan yang paling utama adalah, bahwa pada akhirnya kita semua pasti akan mati. kita tidak tahu kapan waktunya dan bagaimana caranya. tapi pasti kita akan mati.

kebanyakan orang, akan sakit terlebih dahulu sebelum meninggal. sakit dalam artian terbaring sakit. kalau dalam artian merasakan sakit, jelas, semua orang pasti merasakan sakit saat sakaratul maut itu. termasuk yang meninggalnya mendadak itupun merasakan sakit. telah banyak riwayat yang mengabarkan sakitnya sakaratul maut ini.

baiklah,

sebagian besar orang akan sakit terlebih dahulu sebelum meninggal. tapi tidak lantas semua orang yang sakit, serta merta kemudian meninggal. hanya saja, sakitnya seseorang, paling tidak akan membuat si orang tersebut merasa lebih mengingat maut.

hmmm…
ternyata bagus juga efek sakit itu. bisa membuat orang lebih mengingat mati. ada lagi efek baiknya. sakit bisa menjadi penggugur dosa. sakit juga bisa menjadi penyambung silaturrahim. yang biasanya ga pernah bertamu, pas sakit dateng nengokin. sakit juga bisa dijadiin alasan buat ga dateng sidang pas udah jadi terdakwa. banyak nih, kasus kayak gini di indonesia.

jadi kalo kita lihat dari sisi seberang, sebenarnya banyak juga manfaat sakit itu.

iya juga sih. cuman bagi saya, yang ga enak waktu sakit itu kalo akhirnya harus ke dokter. tau sendiri, saya benci dokter dan jas putihnya itu.
saya benci dokter dan stetoskopnya itu.
saya benci dokter dan jarum suntiknya itu.
saya benci dokter dan bau obat-obatnya itu.
saya benci dokter dan ketika dia menyuntikkan jarumnya itu.
saya benci dokter dan senternya yang menerangi mulut saya yang disuruhnya untuk mangap itu.
dan terutama saya benci dokter dan kwitansi tagihannya itu.

kembali ke perbincangan tentang mati.
tentang mati, khalled hosseini dalam a thousand splendid suns membuat sebuah adegan dengan dialog yang sangat brilian. adegan ketika maryam disidang oleh seorang hakim tua di afghanistan. hakim yang menurut perkiraan dokter tidak akan lama lagi hidupnya. ada di halaman 449-450. berikut kutipannya.

***
“saya punya dokter di peshawar,” katanya. “seorang pakistani muda yang baik hati. saya bertemu dengannya sebulan yang lalu, dan sekali lagi minggu lalu. saya bertanya kepadanya, katakanlah yang sejujurnya, kawan, dan dia berkata, tiga bulan, mullah sahib, mungkin paling lama enam bulan – semuanya menurut kehendak tuhan, tentu saja.”

dia mengangguk sedikit pada pria berdada bidang di sebelah kirinya, dan menghirup teh yang ditawarkan oleh pria itu. dia menyeka mulutnya dengan punggung tangannya yang gemetar, “saya tidak takut harus meninggalkan kehidupan yang juga sudah ditinggalkan putra saya lima tahun yang lalu. kehidupan yang memaksa kita menanggung derita demi derita, bahkan lama setelah kita tak mampu menanggungnya lagi. tidak, saya yakin, saya akan menerima ajal saya dengan senang ketika saat itu tiba.

“yang membuat saya risau, hamshira, adalah hari ketika tuhan memanggil saya ke hadapan-nya dan bertanya, mengapa kau tidak melakukan apa yang kuperintahkan, mullah? mengapa kau tidak mematuhi hukum-hukum-ku? bagaimanakah saya harus menjelaskan kepada-nya, hamshira? apakah pembelaan yang saya kemukakan akibat mengabaikan perintah-nya? yang dapat saya lakukan, yang dapat kita semua lakukan, dalam waktu yang dianugerahkan kepada kita, adalah mematuhi hukum yang telah ditetapkan oleh-nya. semakin jelas saya memandang akhir hayat saya, hamshira, semakin saya mendekati hari perhitungan, semakin saya mantap mengikuti titah-nya. seberapa pun menyakitkannya.”

dia bergerak di atas kursinya dan mengernyitkan kening.
***