menjemput rizki

sepertinya tepat sekali kalau dikatakan, semakin tua seseorang, akan semakin berkurang kemampuannya dalam mengingat. seperti yang saya alami. saya ingat pernah membaca cerita lucu pengalaman menjemput anak tk pulang dari sekolahnya. trus, coba saya ingat-ingat bacanya kemarin di mana. lama, akhirnya ingatlah saya kalau ceritanya ada disini. petualangan menjemput anak tk.

jadi, akan ada cerita menjemput seorang anak bernama rizki dari tk-nya?
well, rizki bukanlah nama keponakan saya yang sekolah di tk. lagipula saya juga tidak pernah menjemput keponakan saya itu dari sekolahnya. jadi saya tidak akan menyaingi cerita di atas dan kemudian menceritakan pengalaman menjemput seorang anak dari tk.

***
baiklah, kita mulai saja pembahasan kita kali ini. dengan pembatasan pengertian rizki pada pengertian rizki yang kuantitatif.

jadi, sebagaimana jodoh dan ajal, rizki setiap manusia telah ditetapkan oleh allah. akan tetapi, sebagaimana jodoh dan ajal juga, rizki ini perlu diusahakan. perlu dijemput. dia tidak datang dengan sendirinya.

berbeda-beda cara manusia menjemput rizki. ada yang berdagang, bertani, menjahit, menjadi guru, menjadi ahli bangunan, menjadi penulis, menjadi dokter, menjadi pns dan lain-lain. untuk masing-masing jenis itupun ada spesialisasi-spesialisasi lagi. berdagang misalnya, ada yang berdagang makanan, pakaian, mobil, motor, alat-alat elektronik, alat-alat telekomunikasi, dan lain-lain juga.

dan ternyata, itulah, memang rizki dari masing-masing orang itu sudah ditentukan. jadi, meskipun menggunakan cara yang sama dalam usaha menjemput rizki itu, jumlah yang didapat pun berbeda-beda.

ada lagi kasus untuk mendapatkan jumlah yang sama diperlukan usaha yang berbeda. yang satu perlu berusaha lebih keras daripada yang lain. misalnya, untuk mendapatkan dua ratus ribu, seorang pedagang kue keliling musti muter-muter seharian penuh, sementara seorang pelaksana waskon cukup dengan mengetik sedikit saja.

ada ketidakadilan di sini? tentu tidak, karena allah maha adil. kalau memang adil, bukankah seharusnya dengan usaha yang sama akan diperoleh hasil yang sama? kok ada selisih di sini? kemana larinya selisih usaha itu?

ternyata, selisih itu menjadi tabungan amal kita. tidak ada yang sia-sia dari usaha kita.

jadi, kalau misalnya hari-hari ini kita merasa iba dengan pedagang kue keliling yang udah muter kesana-kemari masih ga laku-laku juga, bisa jadi di akhirat nanti giliran pedagang kue itu yang merasa iba kepada kita karena tidak bisa merasakan manisnya pahala dari usaha kerasnya dalam rangka menjemput rizki.

kesimpulannya banyak. salah satunya, bahwa usaha kita dalam menjemput rizki itu bukanlah semata-mata untuk mendapatkan rizki itu saja. tetapi lebih sebagai salah satu bagian dari ibadah kita kepada allah.

kalo emang begitu, banyak-banyakin aja usaha menjemput rizkinya, toh tidak akan ada ruginya kan? iya, tepat sekali.